Muslimah Azan dan Iqamah, Bolehkah?

Halopadang.id – Dalam Islam, sholat merupakan ibadah yang wajib dan telah ditetapkan waktu pelaksanaannya. Untuk mengetahui waktu sholat, Allah SWT mensyariatkan azan sebagai tanda waktu masuk sholat.

Dalam hadis sahih Abu Dawud disebut, Rasulullah SAW bersabda, “Imam sebagai penjamin dan muazin (orang yang adzan) sebagai yang diberi amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan untuk para muazin.” Adapun hukum azan, para ulama memiliki selisih pendapat tentangnya.

Sebagian ulama mengatakan jika azan adalah sunnah muakkad, tapi pendapat lebih kuat mengatakan azan hukumnya fardu kifayah. Imam An Nawawi mengatakan, “Azan dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash-nash syariat dan Ijma’. Dan tidak disyariatkan (azan dan iqamah ini) pada selain shalat lima waktu, tidak ada perselisihan (dalam masalah ini).”

Anjuran mengumandangkan azan dan iqamah bagi laki-laki dilakukan dengan suara keras. Bagi Muslimah, iqamah boleh dilakukan hanya untuk dirinya dan jamaah Muslimah lainnya yang berada di tempat sholat khusus wanita.

Imam As-Syafii dalam Kitab Al- Umm menjelaskan, perempuan tidak perlu mengumandangkan azan walaupun mereka melakukan jamaah hanya bersama perempuan. Dalam bukunya, ia menulis, “Para perempuan tidak perlu azan walaupun mereka berjamaah bersama (perempuan yang lain). Namun, jika ada yang mengazani dan mereka hanya melakukan iqamah, maka hal itu diperbolehkan. Dan juga tidak boleh mengeraskan suara mereka saat azan. Sekiranya, azan tersebut cukup didengar olehnya sendiri dan teman-teman perempuannya, begitu juga saat iqamah.”

Sementara itu, dalam kitab Al- Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya Imam Nawawi dituliskan tidak sah azan perempuan untuk jamaah laki-laki. Sebagaimana disebutkan mus hannif (pengarang kitab Muhadzdzab) bahwa pendapat ini adalah pendapat mazhabnya serta pendapat jumhur ulama serta pendapat Imam As-Syafii dalam kitab Al-Umm.

Imam Nawawi juga menulis, jika jamaah perempuan ingin mendirikan shalat, ada tiga pendapat yang terkenal dan tertulis, baik dalam qaul jadid maupun qaul qadim dan jadid juga jumhur. Pertama, disunahkan bagi mereka iqamah saja tanpa melakukan azan sebagaimana pendapat mushannif (pengarang Muhadzdzab).

Pendapat kedua, tidak disunahkan azan dan iqamah sebagaimana tertulis dalam pendapat Al-Buwaithi. Ketiga, disunahkan keduanya sebagaimana pendapat ulama’ Khurasan. Imam Syafii termasuk dalam kategori pendapat pertama yang hanya menyunahkan iqamah pada Muslimah. Kumandang azan diizinkan asal tidak dengan suara yang keras sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Pendapat Imam As-Syafii ini didukung oleh beberapa ulama lain, diantaranya; Al-Buwaithi, Abu Hamid, Qadhi Abu Thayyib, dan Al-Mahamily dalam dua kitabnya. Namun, pendapat ini dito lak oleh Abu Ishaq Ibrahim As- Syiraziy yang merupakan pengarang kitab Muhadzdzab dan Imam Al-Jurjani dalam kitab At-Tahrir yang berpendapat bahwa tetap dimakruhkan azan bagi perempuan.

Pendapat wanita tidak disyariatkan untuk azan dan iqamah salah satunya karena perempuan dikenal sebagai sosok yang indah dan merupakan aurat.Perempuan harus pintar dalam menjaga dirinya. Jika suara itu digunakan untuk hal yang salah atau tidak disyariatkan dalam Islam, ditakutkan berujung pada fitnah.

Dalam surat al-Ahzab ayat 32 dituliskan, “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita-wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka, janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ menyebutkan, “Tidak disunahkan beriqamat bagi jamaah shalat kaum wanita yang diimami wanita pula.

Ketetapan ini juga berlaku bagi wanita yang melakukan shalat sendiri, sebagaimana tidak disyari’atkan bagi mereka mengumandangkan azan.”

sumber : Republika