Shalat Tarawih di Masa Pandemi Bisa Munculkan Masalah Baru

Halopadang.id – Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terkait ibadah selama pandemi Covid-19 (virus corona), termasuk meminta umat Islam sholat tarawih di rumah. Wakil ketua umum MUI, Muhyiddin Junaidi mengatakan, masyarakat diminta tidak menimbulkan masalah baru.

“Di wilayah yang tidak terkendali seharusnya jangan timbulkan masalah baru nanti bisa terjadi penularan, apa lagi tarawih berjamaah,” kata Muhyiddin, Jumat (24/4).

Muhyiddin menjelaskan, dalam fatwa MUI tersebut disebutkan dua kriteria wilayah, di antaranya wilayah yang terkendali, dan tidak terkendali. Di wilayah yang terkendali, tidak ada Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan orang yang positif terinfeksi covid-19 (virus corona), semua kegiatan dilakukan sebagaimana biasanya atau normal. Meskipun terkendali, Muhyiddin mengatakan, masyarakat harus tetap berhati-hati dalam melakukan kegiatan.

Sementara di wilayah yang tidak terkendali masyarakat diminta untuk tetap di rumah saja, dan menghindari kerumunan, serta sholat berjamaah. Namun semenjak sholat tarawih dimulai pada Kamis (23/4) malam, masih ada masyarakat di wilayah yang tidak terkendali tetap melaksanakan sholat tarawih berjamaah di mushola.

“Masyarakat tidak bisa disuruh A-A, B-B, masing-masing punya keinginan sendiri. Mereka harus tahu fatwa itu untuk proteksi, menjaga dari penyakit, jangan disalahpahami,” kata Muhyiddin.

Muhyiddin mengungkapkan, meskipun masih ada masyarakat yang tetap melaksanakan sholat tarawih berjamaah, mereka tidak perlu mendapatkan hukuman. Namun, mereka diminta untuk memiliki kesadaran diri agar menghindari kerumunan. Hal ini dilakukan untuk menekan penyebaran virus corona.

Imbauan MUI agar umat Islam menggelar sholat tarawih di rumah memang belum sepenuhnya dipatuhi. Masih ada sejumlah masjid yang tadi malam menggelar sholat tarawih.

Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah Abdul Mukti mengatakan prihatin dengan adanya sebagian umat Islam yang memaksakan diri melaksanakan sholat tarawih di masjid atau mushala. “Saya prihatin masih ada yang memaksakan diri sholat tarawih di masjid, meski jumlah mereka sedikit,” kata Abdul Mukti saat dihubungi Republika, Jumat (24/4).

Dia menjelaskan, setidaknya terdapat tiga alasan mengapa masih ada umat Islam yang melaksanakan sholat tarawih di luar rumah. Pertama, kata dia, mereka merasa berada di zona hijau atau zona aman pandemi virus corona (Covid-19).

Baca Juga :  Pelaksanaan UTBK-SNBT di UNP, Puluhan Petugas Disebar untuk Layanan Keamanan

Kedua, lanjutnya, mereka memahami dan mengikuti fatwa MUI yang menyatakan bahwa di zona aman boleh melaksanakan ibadah sebagaimana biasanya. Ketiga, mereka melaksanakan (sholat tarawih di masjid maupun mushala itu) dengan mematuhi protokol kesehatan dan social distancing.

Meski demikian dia menegaskan, pelaksanaan sholat tarawih berjamaah di masjid maupun mushola tetap berisiko. Sebab penyebaran virus sudah sangat meluas sehingga tidak seharusnya masyarakat membuat penilaian sendiri. “Tetap berisiko karena penyebaran Covid-19 sudah meluas,” ungkapnya.

Di sisi lain dia menggarisbawahi masih banyak umat Islam yang belum mengenali perbedaan antara ibadah yang sesuai syariat dengan ibadah yang merupakan adat. Menurutnya, sholat tarawih sangat bisa dilaksanakan di rumah, pun juga bisa dilaksanakan di masjid maupun mushola (dalam kondisi normal).

Bahkan menurut riwayat Nabi Muhammad SAW, dia menjelaskan, Rasulullah lebih banyak melaksanakan sholat tarawih di rumah dari pada di masjid. Di dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah perihal Rasulullah yang kerap menunaikan sholat tarawih di rumah.

Hadisnya berbunyi, “An Aisyah anna Rasululallah SAW fil-masjidi dzata lailatin fashala bishalatihi nasun tsumma shalla minalpqabilati fakatsura an-nasu tsumma-jtama’uu minal-lailati as-tsalisati aw ar-rabiat falam yakhruj ilaihim Rasulullah SAW falamma ashbaha qala qad roaitu alladzi shona’tum falam yamna’ni minal-khuruji ilaikum illa anni khasyitu an tufrodho alaikum.”

Yang artinya, “Dari Asiyah, Rasulullah SAW melakukan sholat (tarawih) di masjid pada suatu malam. Orang-orang bermakmum kepadanya. Malam berikutnya, Rasulullah SAW kembali sholat tarawih dan jamaahnya semakin banyak. Pada malam ketiga atau keempat, jamaah telah berkumpul (kembali) tetapi Rasulullah SAW tidak keluar rumah. Ketika pagi Rasulullah berkata: aku melihat apa yang kalian perbuat. Aku pun tidak ada uzur yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian, tetapi aku khawatir (shalat tarawih) diwajibkan (dihukumi wajib berjamaah di masjid).”

Dari sisi bahasa pun, makna tarawih bisa diartikan sebagai istirahat. Artinya, ibadah ini dapat dilaksanakan tidak dengan tergesa-gesa, santai, dan untuk merelaksasi tubuh dengan cara bersujud beribadah. Rasulullah sendiri sengaja pernah melakukan sholat tarawih di rumah untuk membaca bacaan surah panjang.

Sebab jika membaca bacaan surah panjang dalam sholat berjamaah pada tarawih dilakukan, Rasulullah khawatir tak semua jamaah memiliki kemampuan fisik yang prima. Itulah sisi lain alasan mengapa Rasulullah SAW melaksanakan tarawih di rumah.

Baca Juga :  Pelaksanaan UTBK-SNBT di UNP, Puluhan Petugas Disebar untuk Layanan Keamanan

Ulama Quraish Shihab menegaskan ibadah sholat tarawih di masjid yang dijalankan selama bulan Ramadhan tetapi khusus tahun ini mendapatkan hukum mendekati haram atau minimal makruh. Sebab, ibadah ini sangat berpotensi menyebabkan umat Muslim terinfeksi virus corona.

Quraish menyebutkan sholat tarawih di masjid selama ramadhan 1441 hijriah bisa menjadi masalah. Ia menjelaskan, pandemi virus corona membuat ahli mengkhawatirkan para jamaah yang menjalin erat kontak saat sholat tarawih di masjid bisa terjangkit virus ini. Padahal, dia melanjutkan, memelihara dan menjaga kesehatan merupakan kewajiban individu.

Ia menyebutkan  ada banyak kegiatan positif lain yang juga ibadah dan bisa dilaksanakan di rumah. Misalnya menyedekahkan barang hingga pakaian di lemari yang sudah tidak terpakai maka itu juga ibadah. Ia menyebutkan ada lebih dari 60 cabang dalam iman. Ia menyebutkan iman yang paling tinggi adalah mengakui keesaan Allah SWT, paling rendah menyingkirkan duri dan kotoran.

“Itu bisa dilaksanakan di mana saja, kapan saja. Kita bisa menggabung yang dianjurkan dan dilarang tanpa mengurangi makna ibadah sedikitpun,” katanya.

Fatwa Pandemi MUI

MUI telah mengeluarkan fatwa yang merinci perihal pandemi Covid-19. Fatwa tersebut dikeluarkan pada Maret lalu nomor 14 tahun 2020, tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadinya Covid-19. Sejumlah fatwa yang terlah dikeluarkan yakni, Fatwa pertama, setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama.

Kedua, orang yang telah terpapar virus corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya sholat Jumat dapat diganti dengan sholat zuhur di tempat kediaman, karena sholat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.

Ketiga, orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19, harus memperhatikan dua hal. Pertama, jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka boleh meninggalkan sholat Jumat dan menggantikannya dengan sholat zuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah sholat lima waktu atau rawatib, tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya.

Baca Juga :  Pelaksanaan UTBK-SNBT di UNP, Puluhan Petugas Disebar untuk Layanan Keamanan

Kedua, jika dia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan),  membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.

Fatwa keempat, dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan sholat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan sholat zuhur di tempat masing-masing.

Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah sholat lima waktu, sholat tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.

Kelima, dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan sholat Jumat. Keenam, pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya.

Ketujuh, pengurusan jenazah yang terpapar Covid-19, terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.

Fatwa kedelapan, umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap shalat fardhu, memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah, dan senantiasa berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya, khususnya dari wabah Covid-19.

Kesembilan, tindakan yang menimbulkan kepanikan dan atau menyebabkan kerugian publik, seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.(002)