HALOPADANG.ID–Bank Indonesia (BI) belakangan ini didorong untuk mencetak uang guna menanggulangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian Indonesia merosot.
Menanggapi ini, Gubernur BI Perry Warjiyo pun berkali-kali menekankan bahwa BI tidak akan mengambil langkah mencetak uang untuk menambah likuiditas di perbankan. Sebab, BI lebih memilih cara yang sesuai dengan mekanisme pasar.
Desakan BI untuk mencetak uang datang dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) saat rapat bersama, tapi Perry menepis bahwa itu cara yang tepat.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2020 memang turun, yakni hanya tumbuh sebesar 2,97% secara year-on-year(YoY), jauh merosot dibandingkan triwulan sebelumnya 4,97% YoY, sekaligus menjadi terendah sejak triwulan IV-2001.
Tidak hanya Indonesia, nyaris semua negara mengalami hal yang sama, bahkan negara dengan perekonomian terkuat di muka bumi, Amerika Serikat, mengalami kontraksi alias minus 4,8% di triwulan I-2020.
Pandemi Covid-19 yang membuat negara-negara mengambil kebijakan karantina wilayah (lockdown), atau di Indonesia kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat roda perekonomian melambat bahkan nyaris terhenti. Maka tidak heran jika pertumbuhan ekonomi merosot tajam.
Sebab itu, guna menanggulangi hal tersebut, BI didorong untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun oleh Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Banggar DPR RI).
Menurut Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDIP Said Abdullah, usulan itu masuk akal, terutama dari sisi inflasi yang kerap kali dikhawatirkan.
“Kalau cetak uang Rp 600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Htungan kami kalau BI cetak Rp 600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp 600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%? Dari mana hitungannya,” kata Said, Kamis (7/5).
Kebijakan mencetak uang oleh bank sentral tersebut disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT) yang saat ini pembahasannya tengah menghangat di dunia akibat pandemi Covid-19.
Gubernur Perry sudah secara tegas menyatakan tidak akan mencetak uang, bahkan MMT sendiri sudah banyak ditentang oleh tokoh-tokoh finansial dunia termasuk ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell.
Cetak uang oleh bank sentral sebenarnya bukan hal yang baru, pada awal tahun 2019 lalu di AS sudah muncul diskusi agar The Fed menerapkan MMT. Powell saat itu menyatakan MMT adalah suatu hal yang salah.
Di luar MMT, bank sentral di banyak negara, termasuk Bank Indonesia sebenarnya sudah “mencetak uang”. Hingga saat ini BI sudah “mencetak uang” lebih dari Rp 500 triliun untuk menambah likuiditas di pasar yang sedang mengetat akibat roda perekonomian yang melambat bahkan nyaris berhenti berputar.
Istilah “mencetak uang” disini bukan benar-benar mencetak uang fisik (kertas dan logam) melainkan menambah suplai uang ke perekonomian. Patut diingat, penambahan suplai tersebut juga tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk simpanan perbankan.
Sejak pandemi Covid-19 menghantam perekonomian Indonesia, BI sudah mengambil kebijakan yang termasuk kategori “mencetak uang”. Hal tersebut dilakukan BI dengan menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan dua kali di tahun ini.
Mulai awal Mei, BI menurunkan GWM 200 basis poin (bps) untuk bank umum, dan 50 bps untuk bank syariah. Dengan penurunan tersebut, BI mengatakan ada penambahan likuiditas ke perekonomian sebesar Rp 117,8 triliun. Sebelumnya di awal tahun ini, BI juga sudah melonggarkan GWM yang menambah likuiditas sebesar 53 triliun.
Selain itu, BI juga melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder senilai 166,2 triliun. Kemudian memberikan fasilitas repo perbankan senilai Rp 137,1 triliun, dengan fasilitas tersebut lembaga keuangan atau korporasi yang memiliki SBN bisa menggadaikannya di BI. BI juga memberikan fasilitas swap valas sebesar 29,7 triliun. Sehingga jika di total, BI sudah “mencetak uang” senilai Rp 503,8 triliun.
Istilah “mencetak uang” ini mulai populer setelah krisis finansial 2008, saat itu The Fed dan beberapa bank sentral utama dunia lainnya menerapkan kebijakan pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE). Sejak saat itu, ketika bank sentral melakukan QE maka lazim disebut “printing money” atau “mencetak uang”.
Bank sentral Jepang (BoJ) menjadi bank sentral pertama yang mengambil kebijakan “mencetak uang” di era milenium. BoJ pertama kali melakukannya pada Maret 2001, untuk memberikan stimulus ke perekonomian, dan menaikkan inflasi. BoJ kala itu melakukan QE dengan membeli obligasi pemerintah, obligasi perusahaan swasta hingga saham. Hal yang sama dilakukan BI dengan membeli SBN senilai Rp 166,2 triliun.
Pasca krisis finansial global 2008, The Fed, Swiss National Bank (SNB), Bank of England (BoE), hingga European Central Bank (ECB) juga melakukan hal yang sama guna memacu perekonomian masing-masing. Sehingga sejak saat itu istilah “mencetak uang” menjadi semakin populer.
Kini di tengah pandemi Covid-19, semakin banyak bank sentral yang menerapkan kebijakan “mencetak uang” termasuk juga Bank Indonesia, guna mencegah pengetatan likuiditas di perekonomian sekaligus merangsang agar roda perekonomian segera berputar ketika Covid-19 berhasil dikendalikan.
Sementara itu, Asisten Gubernur BI bidang Stabilitas Sistem Keuangan dan Kebijakan Makroprudensial Juda Agung angkat suara terkait usulan ini. Juda menegaskan pencetakan uang tidak melulu berwujud printing money atau uang fisik.
Ia menjelaskan kebijakan-kebijakan menjaga likuiditas yang BI lakukan selama ini merupakan salah satu bentuk pencetakan uang, misalnya kebijakan pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM). Tujuannya sama, menurutnya kebijakan tadi adalah upaya menjaga ekonomi Indonesia dari dampak pandemi Covid-19.
“Pencetakan uang itu nggak selalu secara fisik, yang belajar mengenai kebanksentralan pasti paham ini. Melalui kebijakan pelonggaran GWM, sebenarnya BI secara tidak langsung mencetak atau membuat uang juga”, ungkap Juda dalam Kuliah Umum Berbasis Daring yang diadakan oleh BI dan Universitas Padjajaran (20/5/2020).
Seperti yang diketahui, sampai saat ini BI telah menurunkan GWM sebesar 200 basis poin (bps) untuk bank umum konvensional, dan 50 bps untuk bank umum syariah. Melalui kebijakan ini, likuiditas perbankan bertambah sebesar Rp 102 triliun.
Selain itu, dirinya menyebut injeksi likuiditas (quantitative easing) yang diberikan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) juga merupakan bentuk pencetakan uang. Juda menjelaskan ada Rp 386 triliun dana yang sudah diinjeksi dalam rentang Januari hingga April 2020. Bahkan BI kembali menambah injeksi likuiditas sebesar Rp 117,8 triliun pada bulan Mei, sehingga total injeksi yang dikucurkan mencapai Rp 503,8 triliun.
“Tidak cuma itu, pembelian SBN juga termasuk. Total likuiditas yang diinjek BI pada Januari sampai April adalah Rp 386 triliun, tambahan Mei Rp 117,8 triliun. Ini cetak uang dalam tanda kutip”, tegasnya.
Dia juga mengingatkan bahwa pencetakan uang secara fisik bukanlah perkara mudah. Ada skenario maupun tolak ukur yang ketat yang harus terpenuhi sebelum kebijakan tersebut diambil. Lebih lanjut Juda mengatakan, pencetakan uang dapat dilakukan hanya apabila masyarakat benar-benar membutuhkan. Sedangkan saat ini menurutnya belum ada keadaan yang mendesak untuk mengambil kebijakan ini.(R-01/rel)