Miris! Tinggal di Rumah yang Hampir Roboh, Syamsuardi Berteman Lentera

rumah
Syamsuardi dan kondisi dalam rumahnya yang tak layak huni

HALOPADANG.ID–Menikmati usia tua berkumpul bersama keluarga, tentu hal yang banyak diharapkan banyak orang. Bercengkarama, memadu kisah di dalam rumah adalah kehangatan sebuah keluarga.

Namun, hal itu tidak dirasakan oleh Syamsuardi (65) warga Sungai Putiah, Korong Koto Bangko, Nagari Sungai Sirah Kuranji Hulu, Kecamatan Sungai Geringging, Kabupaten Padang Pariaman.

Di usia senjanya ia harus tinggal seorang diri di rumah peninggalan orangtuanya. Mirisnya lagi, rumah yang ia tempati itu dalam kondisi rusak berat, karena dimakan usia, tak layak huni. Bahkan hampir roboh.

Rumah yang berusia puluhan tahun itu tampak lusuh, seakan tidak ada penghuni. Dinding yang retak, pintu hanya papan yang disusun dan lantainya juga sudah habis. Di rumah itulah Syamsuardi beristirahat untuk melepas lelahnya sepanjang hari.

Ia harus tinggal seorang diri karena berpisah dengan anak istrinya, di rumah peninggalan orangtuanya itu, Syamsuardi harus bertahan hidup, berselimut dinginnya udara subuh, berteman cahaya lentera yang menempel di dinding retak.

“Istri sudah cerai terpaksa tinggal disini, rumah ibu saya. Ibu sudah lama meninggal begitu juga dengan ayah saya yang mati sahid ditembak orang zaman dulu,” katanya.

Saat malam hari, Syamsuardi hanya menikmati sepanjang malam dengan dama togok (lampu minyak/lentera), karena rumahnya tidak ada sambungan listrik. Bukan jauh dari akses. Namun ia tidak sanggup untuk itu.

“Untuk penerangan di sini saya hanya menggunakan lampu minyak tanah,” katanya.

rumah
Syamsuardi dengan latar rumahnya yang hampir roboh

Untuk hidup kakek paruh baya ini bekerja sebagai petani dan juga mengeluarkan batu di sungai untuk dijual. Jika dilihat dengan kondisi tubuh Syamsuardi pekerjaan yang dilakoni itu sangat berat. Namun, perjuangan hidupnya jauh lebih berat untuk bisa mendapatkan makan.

“Mengeluarkan batu ini dalam satu minggu paling banyak hanya bisa satu mobil, itu dibeli orang Rp100 ribu. Itu pun tidak rutin,” katanya.

Dari penghasilan itu, digunakan Syamsuardi untuk membeli kebutuhan pokoknya, yang dimasak setiap hari. Ia lebih memilih mengeluarkan batu di sungai dengan resiko yang sangat besar, dibandikang harus meminta-minta kepada oranglain untuk makan.

“Biar saya bekerja keras untuk cari makan, yang penting tidak meminta-minta makan pada orang lain,” katanya.

Syamsuardi menceritakan, jika hujan turun. Salah satu tempat yang aman untuk berlindung adalah kamarnya saja. Dapur yang merangkap sebagai ruang tengah rumahnya itu sudah bocor.

“Hanya kamar yang masih aman, kalau yang lain sudah banyak yang bocor. Ini sudah ada atap dari daun rumbia yang saya cari, rencana dipakai untuk ganti atap ini sementara,” katanya.

Keinginan untuk hidup dan tinggal dirumah yang layah huni memang sudah lama diingikanya. Tapi kenyataanya itu belum bisa terwujud, karena untuk kebutuhan sehari-hari saja ia sudah susah.

“Selama ini ya belum ada bantuan kepada saya, kalau bikin rumah sendiri saya belum mampu,” katanya.(W-01).