Halopadang.id – Pandemi Covid-19 benar-benar membuat kelimpungan banyak pihak. Disaat pemerintah bekerja ekstra keras, disaat itu pula masyarakat berpikir keras bagaimana dapat bertahan hidup.
Satu sisi, kita tentu mendukung setiap upaya pemerintah dalam menekan dan menghentikan penyebaran virus corona jenis baru, covid-19. Di lain sisi, pemerintah diharapkan membuka mata dan telinga lebar-lebar untuk melihat dan mendengar jeritan masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah.
Halopadang.id mencoba menelusuri geliat ekonomi dan kehidupan masyarakat kelas bawah di kota Padang kala corona mewabah di kota ini.
TAK DAPAT BANTUAN
Menelusuri jalan Gajah Mada Nanggalo Padang, Halopadang.id berbincang dengan seorang penjual sala lauak di deretan kampus ITP Padang. Sapar, demikian pedagang kecil berusia 38 tahun ini biasa disapa. Ia ‘curhat’ seputar kesulitan yang menerpa saat corona melanda.
“Betul-betul susah sekarang bang”, keluh Sapar dalam bahasa minang.
Sapar menceritakan himpitan ekonomi yang menimpa keluarganya. Hidup bersama seorang istri dan tiga anak yang masih kecil di sebuah petak kontrakan, membuat Ia dan Istri harus memutar otak di tangah banyaknya imbauan dan aturan yang dikeluarkan pemerintah.
“Kita diimbau tidak keluar rumah. Kalau diam saja dirumah mau makan apa?”, kata Sapar. “Makanya saya tetap jualan di pinggir jalan”, lanjutnya.
Ia kemudian melanjutkan, meski tetap berjualan namun penjualan anjlok. Biasanya Ia bisa membawa pulang keuntungan Rp70 ribu sehari. Uang sejumlah itu, menurutnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari termasuk bayar kontrakan.
“Kini Dua Puluh Ribu saja susah”, ungkap Sapar. Itupun dia sudah berjualan dari pukul dua belas siang hingga tengah malam. Dirinya benar-benar bingung bagaimana bertahan saat ini, belum lagi harus membayar kontrakan dan listrik sebesar Rp700 ribu sebulan.
“Dapat bantuan pemerintah?”, halopadang.id mencoba bertanya.
“Belum dapat” jawah Sapar. Ia kemudian menuturkan kenapa hingga saat ini keluarganya belum mendapat bantuan dari pemerintah.
“Kami tidak punya rumah, hingga sering berpindah. Kartu keluarga tidak di RT sini, sehingga tidak masuk data” ungkap Sapar. “Kita bingung mengurusnya dalam situasi begini”, lanjutnya.
Ia pun berharap pihak terkait tidak mempersulit pendistribusian bantuan sehubungan data kependudukan. Menurut pengakuan sapar, banyak orang senasib dengannya, tidak mendapat uluran tangan terkait karena masalah kartu keluarga yang berbeda dengan tempat tinggal sekarang.
Ini tentu menjadi catatan serius pemerintah, apalagi jika PSBB Sumbar segera diterapkan. Masyarakat kelas bawah yang tidak mempunyai tempat tinggal dan cendrung berpindah tempat tinggal rentan tidak tersentuh bantuan karena data kependudukan. Bahkan bukan tidak mungkin kondisi ini bisa memicu gejolak sosial.
Reporter : Erwin Ananta