HALOPADANG.ID — Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Kepulauan Mentawai, EF, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi senilai Rp 5,2 miliar oleh Kepolisian Daerah (Polda) melalui Direktorat Reserse Kriminal Khusus. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumbar, AKBP Alfian Nurnas, dalam konferensi pers yang berlangsung di Padang pada hari Senin.
Selain EF, ada dua tersangka lain yang telah ditetapkan, yakni FN dan MD. Kasus korupsi yang diduga terjadi terkait proyek swakelola pemeliharaan jalan dan jembatan serta pembangunan jalan non-status Desa Saumanya di Dinas PUPR Mentawai pada tahun 2020.
AKBP Alfian Nurnas menjelaskan bahwa FN merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK), sementara MD merupakan pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dalam proyek swakelola pemeliharaan jalan dan jembatan serta pembangunan jalan non-status Desa Saumanya. EF, di sisi lain, bertindak sebagai pengguna anggaran. Saat ini, para tersangka belum ditahan dan masih dalam proses, namun mereka akan ditahan pada waktu yang tepat.
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Sumbar telah melakukan pengawalan terhadap kasus korupsi ini. Temuan kejanggalan penggunaan anggaran sebesar lebih dari Rp 5,2 miliar merupakan hasil laporan pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terkait kepatuhan belanja daerah pada tahun 2019-2020 di Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kejanggalan ini terungkap dalam kegiatan pemeliharaan jalan dan jembatan serta pembangunan jalan desa strategis. Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Sumbar, Heronimus Eko Pintalius Zebua, mengungkapkan bahwa alokasi anggaran untuk kedua kegiatan tersebut seharusnya mencapai Rp 10.070.000.000. Namun, berdasarkan laporan pemeriksaan BPK RI, penggunaan anggaran yang terbukti hanya sebesar Rp 3.332.216.250.
Pada bulan Desember 2020, terdapat pengembalian anggaran kegiatan sebesar Rp 1.444.000.000 ke kas daerah, sehingga terdapat selisih sebesar Rp 5.293.783.750 yang diduga sebagai dana fiktif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Heronimus Eko Pintalius Zebua menyatakan bahwa diduga pihak-pihak yang terlibat dalam keuangan dan pelaksanaan kegiatan swakelola pemeliharaan jalan dan jembatan serta pembangunan jalan desa strategis di Dinas PUPR Mentawai telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang tersebut adalah melalui pemotongan 20 persen pada setiap tahapan pencairan dana kegiatan, yang terjadi sebanyak 11 kali selama pelaksanaan kegiatan.
Kasus ini mencuat berkat pengawalan dan laporan yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Sumbar. Mereka menyoroti dugaan kecurangan dalam penggunaan anggaran yang melibatkan Dinas PUPR Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dengan adanya temuan tersebut, muncul kekhawatiran bahwa pihak-pihak terkait dalam keuangan dan pelaksanaan proyek swakelola pemeliharaan jalan, jembatan, dan pembangunan jalan desa strategis di Dinas PUPR Mentawai telah menyalahgunakan wewenang yang mereka miliki.
Kasus korupsi ini menjadi sorotan karena melibatkan jumlah yang cukup besar, mencapai Rp 5,2 miliar, yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki infrastruktur penting di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Masyarakat Sumatera Barat juga memperhatikan perkembangan kasus ini, mengingat pentingnya pemberantasan korupsi dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel.
Polda Sumbar, melalui Direktorat Reserse Kriminal Khusus, bertekad untuk mengungkap seluruh fakta dan mengusut tuntas kasus ini. Saat ini, para tersangka masih dalam proses dan akan ditahan sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh hukum. Keberlanjutan dari kasus ini akan menjadi ujian bagi aparat penegak hukum dalam menunjukkan komitmen mereka dalam memberantas korupsi dan menjaga integritas pemerintahan daerah.
Kasus korupsi ini juga menjadi peringatan bagi seluruh pihak terkait dengan penggunaan dana publik. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat harus dijunjung tinggi guna mencegah terjadinya praktik korupsi yang merugikan masyarakat dan pembangunan daerah. Diharapkan, dengan pengungkapan kasus ini, akan mendorong upaya pencegahan korupsi yang lebih efektif dan menjadikan tindakan korupsi sebagai tindakan yang tidak dapat diterima dalam pemerintahan daerah. (ant/red)