HALOPADANG.ID — Badan eksekutif Mahasiswa fakultas Hukum universitas Bung Hatta (UBH) mengeluarkan pernyataan sikap atas polemik aksi tolak rasisme di Papua. Berikut pernyataan lengkapnya:
Pada dasarnya Indonesia adalah Negara Hukum. Segala sesuatunya diatur oleh hukum tertulis maupun yang tidak tertulis yang tersusun secara sistematis dalam mengatur tata kehidupan bermasyarakat, seperti kata pepatah dimana ada masyarakat disitu ada hukum.
Hukum dijadikan tonggak dalam memberikan efek jera kepada pelaku. Namun, bagaimana jika pelaku tersebut melakukan suatu tindakan memperjuangkan bentuk perlawanan terhadap anti rasialisme yang telah terjadi di suatu wilayah Republik Indonesia? Bahkan bentuk hukuman yang dituntut tidak main-main yakni 17 tahun penjara atas perbuatannya.
Dan jika ditelaah lagi kasus rasisme sebelumnya, penjatuhan hukuman bagi pelaku yang melakukan tindakan rasisme hanya diberi hukuman 5 bulan penjara yang mana, ini cukup ringan jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan dari ujaran kebencian dan sikap rasis tersebut.
Lantas dimana letaknya keadilan jika penegakan hukum tidak seimbang seperti ini?
Dalam kajian konstitusional negara Indonesia mengandung Pancasila sebagai falsafah dan Ideologi negara dengan 5 sila yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita maknai saja sila ke 2 “kemanusiaan yang adil dan beradap” dan sila ke 5 “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”. Para pahlawan telah berusaha dalam mempersatukan semua masyarakat indonesia tanpa membedakan suku, agama, dan ras.
Lantas mengapa para penegak hukum tidak memperhatikan konsep keadilan dalam menuntut pelaku?. Setidaknya tuntutan mempunyai landasan yang jelas agar tidak memicu terjadinya perpecahan antar bangsa, dan pastinya juga harus adil serta tidak menerapkan diskriminasi dalam penuntutan karena itu akan menghancurkan bangsa indonesia secara perlahan.
Kita semua satu yakni bangsa indonesia, miris rasanya jika kita masih memandang ras pada saat ini, terutama dengan saudara setanah air kita sendiri, dan jika bentuk rasisme itu dilawan dengan tindakan antirasialisme malahan dituntut dengan hukuman yang sangat tidak manusiawi.
Padahal, kita harus mengerti bahwa mereka memperjuangkan harkat dan martabatnya agar saudara setanah air kita bisa menghargai mereka, lantas kenapa para penegak hukum tidak memberikan pondasi yang kokoh buat mereka, malahan menjatuhkan mereka dengan menuntut dan tidak memperhatikan fakta terkait di sidang pengadilan.
Sejatinya, penegak hukum dibuat untuk membela orang yang benar, bukan menutup kesalahan orang lain yang dimanipulasi menjadi tindakan yang benar. Harusnya kita perlu memperjuangkan dengan tidak menuntut hukuman yang tidak sesuai dengan apa yang telah dilakukan pelaku terkait dalam kasus- kasus rasisme yang terjadi sebelumnya, karena itu akan menjadi boomerang buat negara kita dalam memecah belah persatuan bangsa indoensia.
Kita telaah saja dari kasus ungkapan antirasisme ini yang sebenarnya mereka hanya menyampaikan pendapat keberatan atas apa yang terjadi dengan wilayah mereka. Namun mereka dianggap melakukan Makar tanpa landasan hukum yang jelas. Parahnya lagi terjadinya disparitas dalam penjatuhan hukuman buat mereka menjadikan banyak kritikus hukum menyayangkan tuntutan hukum yang dijatuhkan pada mereka.
Pasal makar yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tepatnya dalam pasal 104 yang ditujukan dalam kasus antirasialisme tersebut merupakan bentuk senjata aparat penegak hukum dalam membungkam aksi mahasiswa yang sejatinya hanya memperjuangkan bentuk kesetaraan tanpa diskriminasi namun itu dijadikan alat dalam membatasi aspirasi yang ingin mereka sampaikan.
Padahal dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yakni dalam UUD 1945 dalam Pasal 28D ayat (1) memiliki substansi yakni adalah “Prinsip setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Nah, konstitusi negara kita saja sudah memberikan peluang untuk mendapatkan bentuk keadilan hukum yang tudak berat sebelah, namun kenapa realitanya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi saat ini, sebagai penegak hukum tentunya tidak sembarangan dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang, apalagi pasal yang berkaitan dengan makar.
Kita maknai saja, pasal makar itu isinya adalah “Makar dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun,” dikaitkan dengan permasalahan tersebut tentu berbanding terbalik apabila jaksa sendiri tidak mempunyai fakta hukum yang jelas atas pasal yang mereka jatuhkan kepada para demonstran tersebut.
Hingga mereka diancam dengan tuntutan pidana mereka sekitar 10-17 tahun penjara, padahal mereka hanya melakukan aksi protes terhadap tindakan rasisme. Dan yang parahnya, pelaku tindakan rasisme yang di Surabaya tahun kemaren hanya dihukum 5 bulan penjara. Padahal mereka sudah jelas memecah belah NKRI dengan tindakan rasis mereka.
Memang jika hati nurani aparat penegak hukum tidak dapat terlihat maka harusnya mereka harus menerapkannya dalam apa yang telah mereka tuntut kepada orang bersalah, keadilan memang susah didapat dari sisi manapun , dan seharusnya kita harus paham dalam menjatuhkan hukuman agar tidak ada yang merasa bahwa mereka mendapat perlakuan yang berbeda. Semua orang mempunyai kesalahan dalam menyampaikan apa yang ingin dikatakannya namun kita harus cerdas dalam menanggapi apa yang telah terjadi agar bentuk ketidak adilan itu bisa kita tanggulangi.
Atas dasar pertimbangan di atas, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta mendesak Pemerintah Indonesia untuk :
1. Kami meminta pemerintah dalam hal ini presiden untuk membebaskan tanpa syarat 7 tahanan politik (tapol) aksi tolak rasisme di papua.
2. Meminta agar proses persidangan terhadap pelaku ujaran kebencian atau rasisme dapat diproses secara transparan dan terbuka untuk umum.
3. Kami meminta agar pemerintah dalam hal ini presiden serta aparat penegak hukum dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pelaku ujaran rasisme terhadap orang Papua.
4. Kami meminta agar aparat hukum berhenti melakukan intimidasi, kriminalisasi, diskriminasi dan pembungkaman ruang-ruang demokrasi.
5. Kami meminta agar Pemerintah Indonesia untuk tetap menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.
Atas dasar tuntutan diatas Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta menyerukan kepada seluruh mahasiswa dan masyarakat Indonesia.
1. Bersama-sama membangun solidaritas sesama rakyat indonesia diatas ras, suku, dan agama.
2. Bersama-sama mengawal proses hukum yang sedang berjalan terkait tahanan politik (tapol) aksi tolak rasisme di papua.
3. Bersama-sama menyuarakan hak-hak bersuara dan kebebasan berpendapat dimuka umum.
Hormat Kami,
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Bung Hatta
Muhammad Ichsan (Gubernur) & Muhammad Aqil Irfaan (Wakil Gubernur)
Catatan Redaksi:
Redaksi Halopadang.id menampilkan secara utuh pernyataan sikap BEM Fakultas Hukum UBH, tanpa menambah kata dan kalimat.