Terkait “Agama Baru” di Solok, Sosiolog: Kebutuhan dan Potensi Konflik

sosiolog
Prof Damsar

HALOPADANG.ID–Sososiolog yang juga guru besar Unand, Prof Damsar mengatakan, adanya “agama baru” Tauhid Ibrahim yang muncul di Sumbar adalah masalah kebutuhan.
Dikatakannya, jika dilihat dari kacamata Sosiologi, “agama baru” itu dianggap memberikan suatu kebutuhan kepada pemeluknya.

Damsar membagi beberapa kebutuhan tersebut.

Pertama dapat memenuhi kebutuhan sosiologi.

“Agama ini memberikan semacam kebersamaan sesama pemeluknya dalam melakukan ritual. Sehinggga kebutuhan terhadap kebersamaan mereka itu bisa diperoleh di agama baru ini. Sementara mungkin di agama lainnya tidak atau kurang,” ucapnya, Senin (27/7).
Kedua, menurutnya kebutuhan psikologis. Adanya kehausan individu terhadap kegersangan jiwa yang dimiliki.

“Nah itu (solusi) dapat ia temui di “agama baru” sementara di agama lain mungkin kurang,” katanya.

Ketiga, kebutuhan ritual, disampaikan Damsuar, ada kemungkinan mereka tidak mendapatkan ritual keagaman di agama lainnya sehingga kebutuhan ritualisme itu ia cari di agama baru.

Baca Juga :  Pesantren Kauman Kembangkan Kreativitas Santri Lewat Nobar dan Beda Film Pendek

“Dan yang tidak kalah penting adalah kebutuhan identitas. Dengan agama baru mereka menguatkan bahwa mereka sebagai orang yang layak diperhatikan dan dilihat bahwa mereka ada. Selama ini mungkin jika mereka memeluk agama lain tidak terlalu diperhitungkan,” tutur Damsar.

“Mungkin selama ini perhatian selama ini tidak terpenuhi, atau keberandaan mereka sebagai manusia tidak dihormati dan di agama baru ini mereka sangat dijunjung tinggi dielu-elukan bisa sajakan,”ujarnya.

Lebih lanjut dikatakannya, pandangan keagamaan penganut itu sebenarnya memelintir atau mendistorsikan prinsip yang ada di agama Islam. Salah satu contohnya, mereka hanya mengakui Nabi Ibrahim dan al quran meskipun tidak utuh.

Jika dikaitkan dengan pemikiran terbuka orang Minangkabau, kata Damsuar hal itu bisa saja terjadi. Ia mencontohkan, orang Minangkabau juga termasuk yang menyebarkan Ahmadiyah di nusantara.

Baca Juga :  Pesantren Kauman Kembangkan Kreativitas Santri Lewat Nobar dan Beda Film Pendek

“Jadi ini kan fenomena yang relatif sama, mendistorsikan ajaran ajaran murni dalam Islam. Nah kenapa ada orang Minang tertarik hal itu, jika melihat Ahmadiyah, itu kan dedengkot masa lampau kan orang Minangkabau yang membawa ajaran itu, dan sekarang orang Minang masih ada penganut itu. Artinya, dia (penganut) seolah olah, dalam pemikiran saya ya, orang Minang ini suka melakukan pembaruan, salah satunya ya seperti filsafat sakali aia gadang sakali tapian barubah. Perubahan itu biasa bagi orang Minangkabau. Jadi apa yang disampaikan (agama baru) itu mungkin ya, mungkin mereka anggap perubahan,”tuturnya.

Potensi Konflik

Damsuar menyampaikan dengan adanya fenomena ini, perselisihan dimungkinkan terjadi karena masuk ranah kepercayaan.

Baca Juga :  Pesantren Kauman Kembangkan Kreativitas Santri Lewat Nobar dan Beda Film Pendek

“Ini soal believe, kepercayaan. Kepercayaan itu, orang suka atau tidak suka ya itu kepercayaan. Nah kemudian karena mayoritas memiliki aturan main tentang Adat Basyandi Syara. Syara Basandi Kitabulah (ABS SBK) jelas ini bakal memicu konflik di masa datang. Konflik ini bisa besar bisa kecil tergantung eskalasi konflik itu sendiri. Itu bisa dimungkinkan,”kata Damsar.

“Seberapa besar?kita lihat seberapa besar pengikutnya, seberapa keras mereka mempertahankan prinsipnya. Dan bagi agama lain seberapa keras ia menolak “agama baru” ini. Ini dua sisi yang berbeda yang harus diperhatikan bagaimana konflik di masa datang bisa muncul,”ucapnya.(P-01)