Perbincangan Sosiolog Seputar Ketahanan Keluarga di Tengah Wabah Covid-19 yang Melanda

Halopadang — Sebagai unit sosial terkecil di tengah masyarakat, isu ketahanan keluarga menjadi salah satu pusat perbincangan di tengah wabah Covid-19 yang melanda. Mulai dari potensi krisis ekonomi, upaya perlindungan terhadap keluarga agar tak terpapar virus corona, hingga kerentanan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) karena makin kompleksnya masalah yang dihadapi rumah tangga.

Isu ketahanan keluarga itu menjadi pokok perbincangan dalam webinar yang digelar Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas (Unand), Kamis (23/07/2020) lalu. Analisis dan masukan dari para ahli ikut mengemuka untuk menekan potensi keluarga terkena berbagai dampak buruk di tengah pandemic Covid-19.

Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Emy Susanti selaku salah satu dari narasumber dalam webinar ini melihat, telah terjadi perubahan dan transformasi sosial di tengah keluarga di saat pandemi, yang tidak dibarengi dengan kebijakan-kebijakan yang dapat menyokong ketahanan keluarga di tengah wabah.

“Padahal, masalah keluarga bukan hanya soal privasi, tetapi juga menyangkut kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Berkaitan dengan kesinambungan masyarakat itu sendiri,” sebut Prof. Emy yang juga Ketua Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender Indonesia.

Wabah Covid-19 yang hadir tiba-tiba, sambung Prof. Emy, membuat tak satu lini pun dalam kehidupan yang siap menghadapinya. Dari fakta itu pun muncul isu-isu seputar ketahanan keluarga dan gender. Masalah tak dapat dielakkan, karena keluarga menjadi bagian dari masyarakat global, sehingga wabah yang datang secara global juga tak dapat dielakkan.

Prof. Emy setidaknya memotret enam perubahan yang terjadi dalam kehidupan keluarga sejak pandemi Covid-19 terjadi. Pertama, perubahan pola migrasi dalam negara dan antar negara. Kedua, kesenjangan ekonomi dan sosial, karena ada pihak-pihak yang diuntungkan dan ada pula yang dirugikan dengan adanya pandemi, sehingga menyebabkan munculnya banyak keluarga miskin baru.

“Data menunjukkan, ada keluarga yang sebelum pandemi ekonominya cukup bagus, tapi setelah pandemi mereka jatuh sehingga tergolong masyarakat yang membutuhkan bantuan,” sebutnya lagi.

Perubahan yang ketiga, lanjutnya, adalah perubahan pola demografis, baik pendidikan, pernikahan, dan lain sebagainya. Keempat, meningkatnya ketidakadilan gender, di mana banyak sekali terjadi kekerasan dalam rumah tangga di masa pandemi. Kelima, perubahan peran kerja laki-laki dan perempuan. Serta yang keenam, perubahan pola komunikasi di dalam keluarga.

Sementara itu narasumber lain, Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Andalas Prof. Dr. Afrizal menilai, selama ini keluarga memang dijadikan sistem pendukung bagi negara dan bagi kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu ia mengajak, untuk membedakan terlebih dulu antara keluarga dengan rumah tangga, sebelum berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah.

“RUU Ketahanan Keluarga itu sendiri apakah mengatur tentang keluarga atau mengatur rumah tangga, itu harus jelas dulu,” sambungnya.

Sebab, menurut Prof. Afrizal, konsep ketahanan keluarga harus menjadi parameter untuk mengukur ketahanan rumah tangga dalam menghadapi tekanan dan perubahan, termasuk di masa pandemi Covid-19. Menurutnya, selayaknya keluarga harus berada dalam lingkungan yang dinamis dan bisa menyesuaikan diri untuk bisa bertahan menghadapi pandemi.

“Dari beberapa penelitian yang kami lakukan, ditemukan beberapa fakta seperti, rumah tangga menjadi salah satu locus penting orang untuk tertular virus corona. Oleh karena itu, penerapan protokol kesehatan dan penanganan Covid-19 di tengah keluarga harus berjalan dengan maksimal dan sesuai ketentuan,” sebut Afrizal lagi.

Sejauh ini, sambungnya, penularan virus yang terjadi di tengah keluarga banyak disebabkan oleh tidak adanya kepemimpinan yang efektif dalam rumah tangga. Sehingga, tidak ada ketegasan dalam penerapan protokol kesehatan di dalam rumah tangga itu sendiri.

Pernyataan Prof. Afrizal, selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Dr. Ida Ruwaida, Pakar Sosiologi FISIP Universitas Indonesia yang juga Ketua Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia. Menurutnya, berdasarkan dugaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), penularan yang terjadi di rumah disebabkan banyaknya pelanggaran protokol kesehatan di dalam rumah.

“Sebagian kasus menimpa mereka yang berada dalam usia produktif atau usia kerja. Dari merekalah kemudian virus terbawa ke rumah dan menularkan kepada anggota keluaga yang lain di rumah, termasuk kepada anak-anak,” sebut Ida Ruwaida.

Kebijakan yang Timpang

Selain isu perlindungan terhadap keluarga dari badai Covid-19, isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang meningkat di masa pandemi juga menjadi topik hangat dalam webinar tersebut. Aktivis Perempuan yang juga Pendiri Women Research Institute (WRI) Edriana, SH, MA menilai, isu ini dapat ditelisik dari ketimpangan kebijakan yang dilahirkan pemerintah, yang tidak mengakomodir kepentingan perempuan di dalamnya.

“Di saat pandemi terjadi hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan kemarin, perempuan yang bekerja di sektor publik harus kembali ke rumah dan bekerja dari rumah. Padahal, di rumah dia juga mempunyai tugas domestik dalam pengasuhan, serta anak-anak juga wajib belajar dari rumah,” sebut Edriana.

Berlipatgandanya pekerjaan perempuan di rumah, sambung Edriana, menyebabkan peningkatan stres yang kerap kali memancing perdebatan antara perempuan dengan suaminya di rumah. Dalam hal ini, relasi kuasa di dalam rumah yang timpang, di mana laki-laki atau suami kerap kali lebih berkuasa, menyebabkan perempuan sering menjadi korban dalam setiap konflik yang terjadi.

“Dari stres muncul perdebatan, kemudian muncul konflik, hingga aksi kekerasan. Korbannya kadang tidak hanya istri, anak pun bahkan sering jadi sasaran aksi kekerasan dan penelantaran,” sebut Edriana lagi.

Oleh karena itu, Edriana menilai masalah ini perlu diurai sejak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk kesepakatan di dalam keluarga untuk lebih terbuka dan berbagi dalam pekerjaan domestik. “Namun faktanya, sejak pandemi, berbagai kebijakan tidak tampak mengakomodir perempuan,” tutupnya.

Webinar yang dimoderatori pakar gender Universitas Andalas Dr. Jendrius itu pun menghadirkan sebuah kesimpulan, bahwa keluarga yang dapat bertahan dari berbagai krisis yang terjadi di tengah keluarga di masa pandemic Covid-19, adalah keluarga yang demokratis dan egaliter dalam kepemimpinan. Selain itu, setiap anggota keluarga memiliki kemauan untuk berbagi peran dalam pekerjaan, dan memahami pentingnya pelaksanaan protokol kesehatan demi menghindari keterpaparan dari virus corona. (zy)