Yusril Ihza Mahendra Sebut Jokowi Lamban Putuskan Darurat Kesehatan

Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra (Foto: Suara)

HALOPADANG – Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengomentari soal keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menetapkan Darurat Kesehatan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Penetapan Darurat Kesehatan yang dinilainya lamban.

Sebab, menurutnya, keputusan itu baru diambil pemerintah setelah banyaknya jumhah pasien yang terinfeksi positif virus Corona (Covid-19) dan orang yang meninggal dunia.

Yusril melihat keputusan Jokowi itu diambil satu bulan setelah adanya dua pasien Covid-19 perdana di Indonesia pada 2 Maret lalu. Dari dua pasien, total pasien melonjak naik hingga ribuan orang dan ratusan orang meninggal dunia.

“Pernyataan Darurat Kesehatan yang nampak sudah terlambat ini disusuli dengan terbitnya PP Nomor 21 Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada tanggal dan hari yang sama. PP ini berisi pelaksanaan sebagian isi UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, khusus mengenai PSBB saja, tidak mengenai materi yang lain,” kata Yusril melalui keterangan tertulisnya, Rabu (4/1/2020).

Dengan adanya PP PSBB tersebut, pemerintah daerah, kabupaten, kota dan provinsi dengan persetujuan Menteri Kesehatan dapat memutuskan daerahnya menerapkan PSBB. Artinya, daerah memiliki wewenang untuk melakukan “pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu”.

Menurut Yusril, seperti dikutip Halopadang.id dari suara, pelaksanaan PSBB tidak mudah dijalankan bagi suatu daerah. Ia mempertanyakan daerah-daerah mana saja yang ditentukan dilarang diakses oleh orang atau barang.

“Sebab suatu daerah tidak berwenang membuat aturan yang menjangkau daerah lain di luar yurisdiksinya,” ujarnya.

Yusril juga mengaku tidak melihat dalam PP Nomor 21 Tahun 2020 itu mengatur apakah pemerintah daerah setempat bisa meminta bantuan polisi atau TNI untuk menjalankan pembatasan mobilitas orang dan barang.

Di UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan juga tidak ada pemberian kewenangan kepada polisi untuk mengawasi keluar masuknya orang di daerah yang memberlakukan PSBB.
Kata Yusril, Pemda hanya dapat mengerahkan Satpol PP yang berada di bawah naungan Pemda.

Menurutnya, polisi baru memiliki kewenangan melakukan pengawasan ke luar dan masuk orang dari suatu wilayah ke wilayah lain, apabila pemerintah pusat memutuskan untuk melaksanakan Karantina Wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Ayat 3 UU Nomor 6 Tahun 2018. Karantina wilayah serupa dengan istilah lockdown yang sudah dilakukan oleh negara-negara terpapar lainnya seperti Malaysia dan Philipina.

Yusril juga mengkritik soal PP Nomor 21 Tahun 2020 yang dianggapnya hanya mengulang apa yang sudah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2020. PSBB dilaksanakan paling sedikit dalam bentuk peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Dari pandangan mantan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) di era Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri tersebut, tiga poin tersebut sebenarnya sudah dilaksanakan oleh daerah sebelum adanya PSBB. Akan tetapi, meski sudah dilaksanakan, nyatanya tidak mampu membatasi penyebaran Covid-19.

“Menjelang akhir bulan Maret, tinggal dua provinsi yang belum ada pasien positif Corona yakni Bengkulu dan Bangka-Belitung. Pas tanggal 31 Maret dua provinsi itu ternyata tak mampu bertahan menghadapi wabah yang ganas ini,” kata dia.
Yusril juga melihat per 1 April 2020 belum ada keputusan Menkes ataupun Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus yang menyetujui permintaan daerah tertentu untuk daerah dinyatakan diberlakukan PSBB. Sebagian daerah malah sudah bertindak lebih jauh dari apa yang dapat dilakukan dalam PSBB tersebut.

Dia pun mengungkapkan pertanyaan apabila dalam dua minggu atau dalam sebulan ke depan PSBB tidak efektif, apakah Pemerintah lantas mau mengumumkan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkatan Darurat Sipil sebagaimana diatur dalam Perpu Nomor 23 Tahun 1959. Menurutnya opsi tersebut juga tidak akan menyelesaikan masalah.

“Jika keadaan makin memburuk dugaan saya, pemerintah tidak akan punya pilihan lain kecuali menerapkan karantina wilayah, sebuah konsep yang mendekati konsep lockdown yang dikenal di beberapa negara, dengan segala risiko ekonomi, sosial dan politiknya,” ujarnya.

“Karena itu selama masa penerapan PSBB ini, saya sarankan agar Pemerintah mulai bersiap-siap menghadapi risiko terburuk kalau akhirnya tidak punya pilihan lain menghadapi wabah virus Corona, kecuali memilih menerapkan karantina wilayah, jika pandemi ini ternyata tidak mampu dihadapi dengan PSBB,” tutur Yusril. (HP-002)