Ikuti

Ethiopia, Negeri Miskin dan Kelaparan yang Kini Begitu Makmur

Sarana transportasi publik berupa LRT menjadi salah satu bukti Ethiopia kian berkembang dan tak lagi disebut sebagai negeri miskin dan kelaparan

HALOPADANG.ID – Bagi orang Indonesia, Ethiopia bukanlah nama yang asing. Hampir empat dekade lalu, tepatnya pada awal hingga pertengahan tahun 80-an, negeri ini begitu dikenal di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bukan karena hal yang positif, namun Ethiopia ‘terkenal’ saat negara tersebut dilanda kelaparan parah karena kekeringan panjang, dan juga karena perang saudara yang menghabiskan tenaga dan anggaran pemerintah. Sedemikian parahnya, bencana kelaparan ini membuat 1,2 juta rakyat Ethiopia meninggal (baik langsung maupun tidak langsung), dan ratusan ribu lain eksodus ke negara-negara tetangganya.

Semua orang terkesiap dengan bencana tersebut. Sampai-sampai, pada tahun 1983, musisi dan penyanyi legendari tanah air, Iwan Fals, menciptakan sebuah lagu yang populer berjudul “Ethiopia”, sebagai ungkapan kesedian sekaligus kengerian Iwan akan bencana kemanusian luar biasa tersebut. Salah satu penggalan liriknya berbunyi:

“Selaksa doa penjuru dunia
Mengapa tak rubah bencana
Menjerit Afrika
Mengerang Ethiopia”

Di masa yang sama, Indonesia yang berhasil berswasembada beras pada 1984, menyumbang 100 ribu ton gabah kepada para petani Ethiopia melalui FAO (badan PBB yang mengurusi pangan), dan sumbangan uang senilai $ 25,000 pada tahun 1987.

Tak hanya kelaparan, bencana perang saudara dan perebutan kekuasaan juga kerap melanda negara yang diyakini tertua di dunia tersebut. Pada tahun 2000, Ethiopia adalah negara termiskin ke-3 di dunia, dengan Pendapatan perkapita sekitar $350. Lebih dari separuh penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan global, sebuah tingkat paling tinggi di dunia. Banyak yang menyangka, Ethiopia akan ‘selesai’, negeri itu akan hilang, atau bergabung dengan negara lain.

Namun, kini semua telah berlalu.

“Keajaiban” telah hampir dua dekade berlangsung di Ethiopia. Negara yang beribukota di Addis Ababa tersebut, makin mari makin makmur, kian dikenal secara positif, dan juga menjadi model bagi pembangunan bangsa-bangsa Afrika. Menurut Bank Dunia, sejak tahun 2000 hingga 2018, Ethiopia adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia di antara negara-negara yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa.

Dirilis goodnewsfromindonesia pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Ethiopia tak hanya dinikmati segelintir orang, namun juga terdistribusikan secara luas. Kemiskinan turun menjadi 31% pada 2015 (menurut Bank Dunia), dan tingkat harapan hidup naik dari 52 tahun di tahun 2000, menjadi 66 tahun di tahun 2017, tingkat kematian bayi juga berkurang 50% selama periode tersebut.

Bergesar dari Pertanian ke Jasa

Selama periode tersebut, Bank Dunia juga mencatat bahwa Ethiopia menduduki peringkat ke-12 sebagai Negara Adidaya Pertanian dan Ketahanan Pangan menurut Food Sustainability Index (FSI) tepat satu tangga di bawah Amerika Serikat (urutan ke-11). Pada saat yang sama, Ethiopia melakukan pergeseran secara bertahap dari ketergantungan tradisionalnya pada pertanian menuju industry dan jasa.

Sebelumya, kontribusi sektor pertanian mencapai hampir 80% dari ekonomi negara tersebut, kini meskipun masih menjadi contributor terbesar, porsinya hanya di bawah 40%. Sektor terbesar kini adalah bidang jasa. Industri, termasuk manufaktur dan konstruksi, kini juga makin menonjol dalam perekonomian, sekitar seperempat dari PDB. Namun, pertanian tetap sangat penting: karena petani dan pekerja pertanian mempekerjakan tiga perempat dari SDM Ethiopia.

Pembangunan Pesat Infrastruktur

Pembangunan infrastruktur juga dilakukan dengan sangat pesat di negara tersebut. Dalam dua dekade terakhir, China menggelontorkan begitu banyak investasi dan pinjaman untuk pembangunan infrastruktur, termasuk jalur kereta api yang menghubungkan Addis Ababa, ibukota Ethiopia dan tetangganya Djibouti senilai $ 4 milyar. Sebagai negeri yang tak punya laut, Ethiopia perlu mengakses laut, dan jalur kereta api sepanjang 750 km tersebut akan berfungsi sebagai penghubungnya dengan laut, yakni Teluk Persia, melalui pelabuhan di Djibouti.

Ethiopia juga membangun sistem kereta ringan (LRT) bawah tanah pertama di kawasan Sub-Sahara Afrika. Jalur kereta ini melintasi pusat kota Addis Ababa dan mampu membawa 30.000 penumpang per jam. Menurut Ian Taylor, pengamat hubungan internasional dari University of St. Andrews, Skotlandia, percepatan pembangunan di kota Addis Ababa, mirip seperti yang pernah terjadi di kota-kota China pada awal abad ke-21.

Ethiopia juga menjadi pelopor di Afrika dalam pembanguan industrial parks (kawasan indutri) untuk menarik investasi di bidang manufaktur ringan, terutama tekstil dan pakaian jadi, dan merangsang ekspor. Saat ini, ada lima kawasan industry buatan pemerintah yang telah menciptakan puluhan ribu lapangan kerja pekerjaan untuk orang-orang Ethiopia, pihak swasta pun sudah juga mulai membangun kawasan-kawasan serupa. Negara tersebut berencana untuk membangun hingga 30 kawasan industri pada tahun 2025 untuk meningkatkan lapangan kerja, menghasilkan pendapatan ekspor, dan menumbuhkan kontribusi sektor manufaktur pada ekonomi negara tersbeut dari 5 % saat ini menjadi 22 % . Merek-merek seperti Michael Kors, H&M, Children’s Place, dan raksasa pakaian jadi lainnya membuat produk-produknya di negara tersebut.

Mulai Berdikari

Ethiopia tampaknya akan terus memfokuskan kebijakan ekonominya pada pengembangan infrastruktur baru dengan belanja infrastruktur dan tidak semua pembangunan infrastruktur bergantung pada dana asing. Baru-baru ini, pembangunan bendungan Grand Renaissance di kawasan Benishangul-Gumuz yang berbatasan dengan Sudan di Ethiopia, dianggap sebagai proyek tersebesar dan paling ambisius di Afrika. Proyek ini memicu protes dari Mesir dan Sudan, dua tetangga dekatnya. Namun Ethiopia tak bergeming, proyek ini akan tetap jalan, dan akan menjadi etalasi pertumbuhan cepat Ethiopia, juga wajah baru Afrika. Dari bendungan tersebut, diharapkan mampu mengeluarkan tenaga listrik sekitar 6.000 megawatt yang diperuntukkan untuk pemakaian domestik dan ekspor. Termasuk bertujuan untuk menggerakkan industrialisasi yang sedang digalakkan di Ethiopia

Proyek bendungan besar itu sepenuhnya didanai oleh Ethiopia sendiri. Menurut pihak berwenang, 20 persen proyek dibiayai obligasi, sisanya dari pajak negara.

Tak hanya itu. Dunia transportasi udara Ethiopia juga menjadi salah satu sektor yang dibanggakan rakyat negara tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Lembaga pemeringkat maskapai udara di seluruh dunia, Skytrax, menempatkan Ethiopian Airlines sebagai maskapai terbaik di Afrika. Maskapai ini kini mempunyai 125 armada pesawat, termasuk didalamnya pesawat-pesawat superjumbo terbaru, yakni Boeing 787 Dreamliners, dan Boeing 777-200LR. Di Afrika, Ethiopian Airlines adalah yang pertama memiliki kedua jenis pesawat tersebut

Ethiopian Airlines tentu bukanlah Emirates, atau Qatar Airways, atau Etihad yang didukung penuh oleh pemerintah negaranya masing-masing dengan dana yang tidak terbatas. Ethiopia bukanlah (belumlah) menjadi negara makmur seperti UEA, atau Qatar, yang mampu menggelontorkan milyaran dollar untuk membuat maskapai-maskapai negaranya maju. Ethiopian Airlines harus berhati-hati dalam membelanjakan uangnya. Artinya, setiap pembelian pesawat baru, apalagi yang superjumbo, tentu sudah diperhitungkan untung ruginya, potensi-potensinya, pun antisipasi pertumbuhan pesat di masa depan. Termasuk bagaimana agar rute-rute internasionalnya, tetap penuh dan menghasilkan uang, dan di saat yang sama terus menjadi ‘wajah’ internasional Ethiopia. Maskapai ini terbang ke seluruh Afrika dan kota-kota besar di Asia, Eropa, dan Amerika.

Peacemaker dari Tanduk Afrika

Di bidang hubungan internasional, dunia kini melihat Ethiopia sebagai kekuatan penstabil (stabilizing force) di kawasan Tanduk Afrika dan menjadi mitra utama A.S. dalam keamanan regional. Negara ini sering disebut sebagai The Peacemaker of African Horn. AS memilih Ethiopia sebagai mitra utama di kawasan tersbeut. Hubungan AS-Ethiopia juga terus meningkat dalam dua dekade terakhir melalui kerja sama kontraterorisme, khususnya dalam melawan kelompok militan al-Shabab. Addis Ababa menjadi tuan rumah markas besar Uni Afrika (AU), sebuah blok dari lima puluh lima negara-negara Afrika, dan telah memainkan peran utama dalam operasi penjaga perdamaian PBB di negara tetangga Somalia, Sudan, dan Sudan Selatan.

Politik yang stabil

Jangan lupa, Ethiopia mengalami berbagai konflik, mulai dari perang saudara selama dua dekade, perang dengan Somalia (1977 dan 1998) dan Eritrea (1999). Negara ini ‘akrab’ dengan kekerasan. Namun, semua bergerak dan menyadari, tenaga mereka habis untuk itu. Kesadaran ini berbuah manis. Ethiopia sekarang telah menikmati kestabilitan politik dan perdamaian. Politik Ethiopia adalah demokrasi multi-partai. Keberhasilan semua pihak dalam berkonsensus demi stabilitas politik, dalam bentuk pemerintahan koalisi yang kuat, ternyata memberi dampak positif bagi ekonomi negara tersebut.

Banyak sekali yang bisa kita pelajari dari negeri yang dulu begitu carut marut ini, dan kini menjadi salah satu kebanggaan benua Afrika. (*)

Exit mobile version
situs toto situs toto barbartoto barbartoto